11 Mei 2013

Bangkalan

Dari tujuan awal perjalanan berupa Abon Tongkol dalam kemasan, saya berusaha menambahkan poin lain dalam itinerari jalan-jalan kali ini. Bukankah sangat disayangkan apabila perpaduan cuaca cerah dan mood bagus hanya akan menghasilkan beberapa bungkus buah tangan? Lagipula, saya memang perlu jalan-jalan keluar kota lagi dengan tas di punggung, seperti para backpacker melakukannya. Oke, sekarang Mercusuar Sembilangan sudah masuk dalam daftar, setelah Jembatan Suramadu dan Abon Tongkol.
Berbekal tas punggung dan ponsel pintar hadiah ulang tahun Nyonya Besar, perjalanan dimulai dari kawasan Surabaya Selatan menuju kota Bangkalan via jalur nontol. Estimasi waktu yang dibutuhkan adalah lima puluh dua menit untuk jarak tempuh tiga puluh delapan kilometer. Ada alasan ketika saya lebih percaya navigasi ponsel daripada peta kertas yang baru bisa terbaca setelah dipadu dengan kompas. Sangat melelahkan jika pengalaman di Solo tahun lalu terulang lagi, enam belas menit untuk jarak 1,5 kilometer.
Suramadu, beberapa menit kemudian sampailah saya di sana. Jembatan terpanjang di Indonesia itu telah melintasi selat Madura sejak 2009. Ada sensasi tersendiri saat menyeberangi jembatan seharga 4,5 triliun itu. Perasaan bangga sebagai warga Jawa Timur sekaligus takjub, campur aduk jadi satu. Sejenak saya menyempatkan berhenti di bentang tengah untuk ambil gambar, meski sebenarnya aktivitas semacam itu sangat ilegal.
Perjalanan berlanjut menuju pusat kota Bangkalan. Indikator sinyal HSDPA maupun 3G di ponsel terlihat naik turun. Syukurlah, beberapa spot seperti Alun-alun, Masjid Agung Bangkalan dan lokasi Abon Tongkol masih terakses foursquare. Sementara itu mendung terlihat berarak di atas kota, siap turun sebagai air hujan di musim pancaroba ini. Semoga cuaca cerah tetap mendukung aktivitas snapshot dalam trip tanpa kamera digital kali ini.
Baiklah, saya mengaku! Sebenarnya, Abon Tongkol adalah tujuan utama yang lambat laun menjadi sekunder karena faktor jarak dan daya tahan tubuh. Jadi, setelah check in di Masjid Agung, mencari rute si Abon, sampai di lokasi, barang dipilih, menebusnya dengan beberapa lembar puluhan ribu dan memasukkannya ke dalam backpack, satu lagi sesi perjalanan yang harus dituntaskan sebelum petang, Mercusuar Sembilangan. Estimasi waktu yang dibutuhkan adalah empat belas menit untuk jarak delapan kilometer dari pusat kota.


Asingnya medan rupanya belum berhasil membuat laju motor saya melambat. Sesekali, kebingungan akan opsi ruas jalan mampu dipecahkan oleh mesin pemandu lokasi yang kala itu merangkap juga sebagai penunjuk waktu, alat komunikasi maupun kamera. Keterbatasan navigasi ponsel baru terasa ketika lokasi yang ditampilkan hanya berupa tempat-tempat umum seperti balai desa atau sekolah, tidak untuk tempat-tempat terpencil. Itulah alasan yang melatarbelakangi pertanyaan saya seputar lokasi Mercusuar Sembilangan kepada seorang penduduk setempat. "Ikuti saja jalan item, Mas!" jawab seorang bapak di depan teras rumahnya. Memang benar, setelah satu kilometer mengikuti jalanan sempit beraspal hitam dari ujung desa, sampailah saya di sebuah persimpangan kecil yang mengarah ke sebuah objek tinggi di tepi pantai. Sein kanan menuju Mercusuar Sembilangan.
Hanya dengan empat ribu rupiah untuk parkir motor dan bea masuk lokasi, saya telah mengantongi izin akses ke seluruh bagian mercusuar. Bangunan yang sepenuhnya terbuat dari lempeng-lempeng logam itu didirikan pada pemerintahan Belanda tahun 1879. Fungsi dasar bangunan setinggi enam belas tingkat itu adalah sebagai pemandu kapal-kapal Belanda yang akan bersandar di pelabuhan Tanjung Perak.
Berbekal semangat dan kamera ponsel alakadarnya, saya mencoba naik dari satu lantai ke lantai berikutnya. Di masing-masing lantai, saya mendapatkan sudut pandang berbeda untuk setiap benda di permukaan tanah yang biasa-biasa saja dalam sudut pandang mata manusia, bahkan membosankan. Hijaunya vegetasi bakau, detail pepohonan di tepi jalan, maupun warna jingga atap rumah-rumah penduduk dapat terekam sempurna dalam format digital berkat intensitas cahaya matahari yang benar-benar tinggi siang itu. Inilah yang saya suka dari musim kemarau dan paket penyertanya, langit biru, awan tinggi, matahari bersinar terang. Lalu, apa lagi yang kurang?

29 komentar:

  1. yang saya suka dari Madura itu wananya, dia punya cirikhas warna yg keren dan gak ketebak. Misal hitam sama kuning! Keren!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi batiknya yang berciri khas warna cerah. Kalau ada waktu saya akan share gambar batik Maduranya.

      Hapus
  2. wah kapan bisa jalan jalan ke tempat rindang ya mbak/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya malah jarang merencanakan trip dengan matang, dan itu bisa terlaksana. Trip ini misalnya, saya rencanakan dalam hitungan jam. Oh ya, panggil saya Om :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terima kasih, hanya jepretan ponsel yang dicerahkan. Harap maklum jikalau dimensi maupun ketajamannya kurang :)

      Hapus
  4. Haii, Fiz..apa kabar ?? lama ngga mampir nih...
    Sukaa deh foto2 nya, keren2...itu pakai ponsel pintar apa ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah baik Mbak Lita. Baru ngeblog lagi setelah koma sepuluh bulanan. Gambar dijepret pakai xperia miro, kemampuan maksi bisa sampai 5 mp, sayang pas pakai tempo hari masih terset 3 mp. Tengkyu :)

      Hapus
    2. kenapa koma ngeblog? kayaknya kena "karma", karena dulu seingatku pernah nulis artikel tentang Hiatus :)

      Like your picts!

      Hapus
    3. Yang dulu itu ta Cak? Hehe, itu memang tulisan tentang saya sendiri. Koma yang ini beda, lebih pada alasan kesibukan di luar sana, dicampur kemalasan Sang Juragan :D

      Tengkyu cendolnya Cak.

      Hapus
  5. Baca ulasannya sangat menarik, sayang bgt sy belum pernah k sana. Salam!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. Maaf kalau kurang nyaman, karena ulasan saya di atas besar kemungkinan masih bersambung. Terima kasih.

      Hapus
  6. bwa rengke', biar buah tangannya banyak om pit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dari nge-trip malah dikira jadi tengkulak mbak... :)

      Hapus
  7. wuih..keren..tambah manteb aja hasil potonya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu Pri. Pakai Xperia Miro, sayang dari kualitas maksimum 5 MP cuman kepake 3 MP. Agak nyesel, tapi baiklah, ini oleh-olehku :)

      Hapus
  8. Belum pernah kesana kawan...suatu saat semoga bisa kesana dan menikmati keindahan kota bangkalan di Madura

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sudah 12 tahun tinggal di Surabaya, tetapi baru 3 kali dolan ke Bangkalan. Semoga cita-cita sodara safiy tercapai :)

      Hapus
  9. Ternyata tujuannya Abon Tongkol to sobat...merelakan diri menempuh perjalanan yang tidak pendek juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya itu tujuan sekunder (paragraf 5), untuk tujuan utama sepertinya masih bersambung... :)

      Hapus
  10. Hmmmm kemaren 4 tahun di surabaya, pengen liat Madura tapi g jadi2.. asli nyesel...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kuliah di Surabaya? Saya pertama kali ke Bangkalan pas kuliah dulu. Menyeberang masih pakai ferry karena Suramadu belum ada. Saya masih ingat waktu itu hari Sabtu sore, momen yang pas dengan acara tangga lagu dangdut mingguan di radio Wijaya. Lagu yang terkumandangkan dari pengeras suara kapal adalah Laila Canggung dari Iyeth Bustami.

      Hapus
  11. itu fotonya keren amat... :)

    BalasHapus
  12. Belum pernah lewat Suramadu. Belum pernah ke Madura.
    Kangen ke Jawa Timur..! :((

    Fotonya bagus-baguuuss....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama dong Mpok, saya juga belum pernah keluar dari kisaran Jawa Timur dan Jogja. Memang, kalau tidak ada urusan bisnis, kondangan atau traveling kenapa harus cuci mata jauh-jauh yak :)

      Tengkyu, foto hanya pakai ponsel.

      Hapus
  13. wah itu foto makek experia bisa oke gitu yah mas? jadi tertarik sama experia, hehe, nice post mas, suwun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Mas, pakai Xperia. Niatnya sih hipster, karena banyak teman kantor pakai produk Korea. Ternyata bonusnya ya gambar lumayan bagus. Sama-sama Mas, salam kenal.

      Hapus

Terima kasih atas komentarnya.