Baiklah, kali ini saya benar-benar harus rehat untuk sementara waktu,
setelah memikul tugas ekstra sepanjang dua setengah bulan terakhir.
Lagipula, bagi saya naik cetak adalah nikmat yang patut dirayakan dengan
suka cita. Jika ditimbang, lima karya mungkin sebanding dengan satu
minggu liburan ke luar kota untuk sekedar jalan-jalan melepas penat.
Jeng-jeng kata orang Semarang.
Selain (tentu saja) pulang ke rumah mertua, misi liburan kali ini adalah menengok keramaian Pasar Malam Sekaten di Alun-alun Lor Yogyakarta. Barangkali ada yang menarik di sana, maka turut terlibat sebuah poket bongsor berlensa tanggung 25mm WIDE dengan 12x optical zoom sebagai peranti dokumentasi. Jadi, DSLR dan kamera ponselnya sementara minggir dulu.
Usai berkemas dan mengisi ulang baterai aneka gadget, sebuah pesan bergambar tiket kereta api masuk via group chat. Satu kejutan ringan yang tidak terencana, bahwa seorang teman lama juga berniat melakukan perjalanan ke Yogyakarta sore itu dalam rangka menghadiri sebuah hajatan. Setio namanya, teman satu kelas yang sempat hilang ditelan bumi pada semester-semester akhir kami kuliah. Ah, sulit dipercaya! Kami berdua memiliki tiket untuk kereta dan nomor gerbong yang sama. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya tidaklah jauh dari reuni kecil-kecilan di antara kami. Obrolan seputar keluarga, pekerjaan, kegemaran baru, fotografi, maupun jenis kamera, mengalir begitu saja untuk beberapa jam ke depan. Begitu seterusnya, hingga kami turun dari kereta dan berpisah di Stasiun Tugu.
Selain (tentu saja) pulang ke rumah mertua, misi liburan kali ini adalah menengok keramaian Pasar Malam Sekaten di Alun-alun Lor Yogyakarta. Barangkali ada yang menarik di sana, maka turut terlibat sebuah poket bongsor berlensa tanggung 25mm WIDE dengan 12x optical zoom sebagai peranti dokumentasi. Jadi, DSLR dan kamera ponselnya sementara minggir dulu.
Usai berkemas dan mengisi ulang baterai aneka gadget, sebuah pesan bergambar tiket kereta api masuk via group chat. Satu kejutan ringan yang tidak terencana, bahwa seorang teman lama juga berniat melakukan perjalanan ke Yogyakarta sore itu dalam rangka menghadiri sebuah hajatan. Setio namanya, teman satu kelas yang sempat hilang ditelan bumi pada semester-semester akhir kami kuliah. Ah, sulit dipercaya! Kami berdua memiliki tiket untuk kereta dan nomor gerbong yang sama. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya tidaklah jauh dari reuni kecil-kecilan di antara kami. Obrolan seputar keluarga, pekerjaan, kegemaran baru, fotografi, maupun jenis kamera, mengalir begitu saja untuk beberapa jam ke depan. Begitu seterusnya, hingga kami turun dari kereta dan berpisah di Stasiun Tugu.
Kembali ke Pasar Malam Sekaten. Secara etimologi, istilah Sekaten berasal dari rangkaian kata syahadatain atau dua kalimat syahadat. Nama Sekaten diperoleh dari fungsi awal
digelarnya pasar malam semacam ini pada zaman wali songo, yaitu untuk
menyebarkan agama Islam melalui jalur budaya. Adapun hiburan yang
ditampilkan pada saat itu adalah pagelaran wayang kulit dengan tiket
masuk berupa ucapan dua kalimat syahadat.
Zaman telah berubah, wayang kulit yang dulunya merupakan hiburan tunggal dalam Pasar Malam Sekaten telah berganti oleh wahana-wahana modern seperti ombak laut, kora-kora, tong setan, komedi putar, rumah hantu, hingga bianglala. Kecuali ombak laut yang turut menambahkan adegan akrobatik melayang di udara untuk para pemutarnya, semua wahana di atas dapat dinikmati pengunjung dengan rata-rata tiket seharga 8.000 rupiah.
Beruntung saya tiba di lokasi selepas gerimis mengguyur Yogyakarta dari sore. Itulah yang saya cari. Bukan beceknya lapangan, tapi lebih pada absennya debu yang identik dengan lapangan tanpa rumput seperti Alun-alun Lor. Waktu pun masih cukup sore untuk memulai eksplorasi setiap sudut pasar malam.
Dari area bianglala, saya bergeser menuju lapak para penjual makanan dan mainan. Biar lebih dapat di human interest-nya, pikir saya. Kembang gula dan kapal minyak, dua macam cinderamata itu saya pilih sebagai oleh-oleh untuk dua orang keponakan yang sedari tadi mengikuti pergerakan saya ke sana kemari. Karena itu pula eksplorasi kali ini tidak bisa optimal, terikat jam malam untuk segera mengembalikan anak-anak itu kepada empunya. Jadi, ini saja yang dapat saya rekam melalui kamera poket bermode Pemandangan Malam, dengan editing sewajarnya.
Zaman telah berubah, wayang kulit yang dulunya merupakan hiburan tunggal dalam Pasar Malam Sekaten telah berganti oleh wahana-wahana modern seperti ombak laut, kora-kora, tong setan, komedi putar, rumah hantu, hingga bianglala. Kecuali ombak laut yang turut menambahkan adegan akrobatik melayang di udara untuk para pemutarnya, semua wahana di atas dapat dinikmati pengunjung dengan rata-rata tiket seharga 8.000 rupiah.
Beruntung saya tiba di lokasi selepas gerimis mengguyur Yogyakarta dari sore. Itulah yang saya cari. Bukan beceknya lapangan, tapi lebih pada absennya debu yang identik dengan lapangan tanpa rumput seperti Alun-alun Lor. Waktu pun masih cukup sore untuk memulai eksplorasi setiap sudut pasar malam.
Dari area bianglala, saya bergeser menuju lapak para penjual makanan dan mainan. Biar lebih dapat di human interest-nya, pikir saya. Kembang gula dan kapal minyak, dua macam cinderamata itu saya pilih sebagai oleh-oleh untuk dua orang keponakan yang sedari tadi mengikuti pergerakan saya ke sana kemari. Karena itu pula eksplorasi kali ini tidak bisa optimal, terikat jam malam untuk segera mengembalikan anak-anak itu kepada empunya. Jadi, ini saja yang dapat saya rekam melalui kamera poket bermode Pemandangan Malam, dengan editing sewajarnya.
Senja, Rel, dan Kereta. Like :)
BalasHapusMbok yo diilangi kode anti robote, kesuwen nek kate komen :(
Dijepret dari gerbong bisnis Sancaka Sore di kawasan stasiun Nganjuk. Suwun...
HapusSoal anti robot, usule sip. Wis tak ilangi Cak *jempol
Tulisane tambah mantab. Penuh deskripsi. Potone... pancet... Top!
BalasHapusGitu ya? Terima jadi, Bro :)
HapusPoto top itu ya karena kameranya yang canggih. Mungkin :)
Bianglala bisa menyala gitu. Editnya pake apa mas?
BalasHapusPakai Photoshop Mbak, fungsinya untuk mempertegas warna sekaligus mencerahkan.
Hapusweh..udah lama ge ke sekaten...
BalasHapusmmmm...terakhir kali...lebih dari satu dekade kayanya.. :)
Waktu masih kuliah dulu? Aku malah ini yang pertama.
HapusWaduh ada bianglala... coba aq kmrn ikut... pasti bisa latihan light-trail
BalasHapusThat's the point, Bro. Waktu itu aku juga kekurangan teman sesama eksplorer (yang punya termos) :D
HapusLima karya, Mas?! Mantap sekali itu. Selamat ya, Mas.
BalasHapusPerlu jalan-jalan itu, hehe....
(Sudah lama sekali saya ga ke sekaten :)
Tiga karya itu cetak ulang Pak, dua lainnya benar-benar baru :)
Hapuswah fotone sip mas Fiz sing senja dan kereta,hehe
BalasHapusboleh minta file foto yang cuma foto itu tok? di gawe backgroun laptop apik ketok e mas, hehe
Terima kasih. Boleh-boleh, gambar bisa diambil di flickr.
Hapushttp://www.flickr.com/photos/fiz-online/11990779644/
suwun mas :D
Hapusfoto bianglala nya cantik bgt.
BalasHapusTengkyu madam. Itu dijepret waktu masih suka jalan-jalan dan jepret kanan-kiri dulu. Sekarang? Ya masih suka :)
HapusLima karya, Mas?! Mantap sekali itu.
BalasHapus