Berbekal tas punggung dan ponsel pintar hadiah ulang tahun Nyonya Besar, perjalanan dimulai dari kawasan Surabaya Selatan menuju kota Bangkalan via jalur nontol. Estimasi waktu yang dibutuhkan adalah lima puluh dua menit untuk jarak tempuh tiga puluh delapan kilometer. Ada alasan ketika saya lebih percaya navigasi ponsel daripada peta kertas yang baru bisa terbaca setelah dipadu dengan kompas. Sangat melelahkan jika pengalaman di Solo tahun lalu terulang lagi, enam belas menit untuk jarak 1,5 kilometer.
Suramadu, beberapa menit kemudian sampailah saya di sana. Jembatan terpanjang di Indonesia itu telah melintasi selat Madura sejak 2009. Ada sensasi tersendiri saat menyeberangi jembatan seharga 4,5 triliun itu. Perasaan bangga sebagai warga Jawa Timur sekaligus takjub, campur aduk jadi satu. Sejenak saya menyempatkan berhenti di bentang tengah untuk ambil gambar, meski sebenarnya aktivitas semacam itu sangat ilegal.
Perjalanan berlanjut menuju pusat kota Bangkalan. Indikator sinyal HSDPA maupun 3G di ponsel terlihat naik turun. Syukurlah, beberapa spot seperti Alun-alun, Masjid Agung Bangkalan dan lokasi Abon Tongkol masih terakses foursquare. Sementara itu mendung terlihat berarak di atas kota, siap turun sebagai air hujan di musim pancaroba ini. Semoga cuaca cerah tetap mendukung aktivitas snapshot dalam trip tanpa kamera digital kali ini.
Baiklah, saya mengaku! Sebenarnya, Abon Tongkol adalah tujuan utama yang lambat laun menjadi sekunder karena faktor jarak dan daya tahan tubuh. Jadi, setelah check in di Masjid Agung, mencari rute si Abon, sampai di lokasi, barang dipilih, menebusnya dengan beberapa lembar puluhan ribu dan memasukkannya ke dalam backpack, satu lagi sesi perjalanan yang harus dituntaskan sebelum petang, Mercusuar Sembilangan. Estimasi waktu yang dibutuhkan adalah empat belas menit untuk jarak delapan kilometer dari pusat kota.
Asingnya medan rupanya belum berhasil membuat laju motor saya melambat. Sesekali, kebingungan akan opsi ruas jalan mampu dipecahkan oleh mesin pemandu lokasi yang kala itu merangkap juga sebagai penunjuk waktu, alat komunikasi maupun kamera. Keterbatasan navigasi ponsel baru terasa ketika lokasi yang ditampilkan hanya berupa tempat-tempat umum seperti balai desa atau sekolah, tidak untuk tempat-tempat terpencil. Itulah alasan yang melatarbelakangi pertanyaan saya seputar lokasi Mercusuar Sembilangan kepada seorang penduduk setempat. "Ikuti saja jalan item, Mas!" jawab seorang bapak di depan teras rumahnya. Memang benar, setelah satu kilometer mengikuti jalanan sempit beraspal hitam dari ujung desa, sampailah saya di sebuah persimpangan kecil yang mengarah ke sebuah objek tinggi di tepi pantai. Sein kanan menuju Mercusuar Sembilangan.
Hanya dengan empat ribu rupiah untuk parkir motor dan bea masuk lokasi, saya telah mengantongi izin akses ke seluruh bagian mercusuar. Bangunan yang sepenuhnya terbuat dari lempeng-lempeng logam itu didirikan pada pemerintahan Belanda tahun 1879. Fungsi dasar bangunan setinggi enam belas tingkat itu adalah sebagai pemandu kapal-kapal Belanda yang akan bersandar di pelabuhan Tanjung Perak.
Berbekal semangat dan kamera ponsel alakadarnya, saya mencoba naik dari satu lantai ke lantai berikutnya. Di masing-masing lantai, saya mendapatkan sudut pandang berbeda untuk setiap benda di permukaan tanah yang biasa-biasa saja dalam sudut pandang mata manusia, bahkan membosankan. Hijaunya vegetasi bakau, detail pepohonan di tepi jalan, maupun warna jingga atap rumah-rumah penduduk dapat terekam sempurna dalam format digital berkat intensitas cahaya matahari yang benar-benar tinggi siang itu. Inilah yang saya suka dari musim kemarau dan paket penyertanya, langit biru, awan tinggi, matahari bersinar terang. Lalu, apa lagi yang kurang?