21 Maret 2012

Trip to Malang


Menurut Google Map, perjalanan yang dimulai dari rumah sang Juragan di seputaran Jalan Banyu Urip Surabaya menuju kota Malang akan membutuhkan waktu berkendara dengan roda empat sekitar 1 jam 32 menit sejauh 93,4 kilometer via jalan tol maupun nontol. Adapun jika perjalanan hanya dilakukan dengan berjalan kaki melalui jalur-jalur sempit yang terkadang berada di atas selokan akan menyita waktu selama 18 jam 45 menit dengan jarak tempuh 87,9 kilometer. Berdasar pada akal sehat, pilihan jatuh pada opsi berkendara dengan roda dua yang cukup tenar akan keiiritan konsumsi bahan bakarnya. Cukup dengan 24.500 perak untuk harga premium bersubsidi, dapat diperoleh paket perjalanan pulang pergi, putar-putar kota selama 3 setengah jam, dan dua kali 3 kilometer menjauhi rute utama karena rambu yang menyesatkan.
Kembali ke Google Map. Nyatanya, sukar sekali menggunakan peta di atas platform Java itu tanpa melibatkan campur tangan kompas maupun tanya jawab seputar arah dengan warga setempat. Nah, bagian terakhir itulah yang rupanya lebih bisa diandalkan, gratis namun tingkat keefektifannya jauh melebihi kekuatan gadget canggih macam apapun. Kesimpulan sementara, "Biarlah manusia berinteraksi dengan manusia lain, bukan pada mesin."
Berikutnya, oleh-oleh khas backpacker dari sejumlah tujuan wisata bisa dinikmati bersama wafer maupun kopi hangat dari dapur. Hanya berupa gambar dan deskripsi singkat, tidak lebih dari itu. Sisanya, biarkan foto yang berbicara.

[1] Pohon Raksasa. Pohon besar di Jalan Jaksa Agung Suprapto Malang ini begitu unik bagi saya selaku warga metropolis. Belum pernah ada pohon setinggi 60-an meter semacam ini di jalur dalam kota Surabaya yang padat penduduk dengan mobilitas tinggi dan rentang cuaca ekstrim disertai angin kencang. Menurut pengetahuan saya, inilah Tamarindus indica raksasa keempat di sepanjang jalan itu.
[2] Gereja Paroki. Meluncur dari Jalan Jenderal Basuki Rahmat ke arah Alun-alun Kota Malang, di pertigaan Kayutangan pasang sein kanan dan Anda akan menjumpai gereja Katholik bergaya Gothik ini di sebelah kiri jalan. Adapun arsitektur Gothik sendiri merupakan gaya arsitektur yang berasal dari Perancis abad XII, berevolusi dari arsitektur Romanesque dan diteruskan oleh arsitektur Renaissance.
[3] Masjid Agung. Berlokasi tepat di sebelah barat Alun-alun Merdeka, Masjid yang dibangun dalam dua tahap pada 1890 hingga 1903 ini menganut dua gaya arsitektur, Jawa dan Arab. Gaya arsitektur Jawa terlihat dari atap bangunan utama masjid yang berbentuk tajug tumpang dua, sedangkan gaya arsitektur Arab terlihat dari keberadaan kubah dan menara, serta konstruksi lengkung di pintu maupun jendela masjid.
[4] Tangga Tempat Wudhu. Seperti halnya Masjid Agung Surabaya, tempat wudhu Masjid Agung Malang juga terletak di tingkat dasar, satu lantai di bawah lantai utama masjid. Adapun sumber air untuk keperluan bersuci diperoleh dari sumur artesis yang dibangun pada tahun 2010.
[5] Pintu Samping. Di sisi samping bangunan utama Masjid Agung, terdapat deretan pintu kayu berkisi banyak dengan ukuran ekstra jumbo. Bentuk daun pintu semacam ini mengingatkan saya pada rumah kuno Mbah Buyut di desa yang kental akan perpaduan cita rasa Jawa dan Eropa.
[6] Tajug. Perbedaan antara atap joglo dan tajug dalam arsitektur Jawa terletak pada keberadaan bubungan di bagian puncaknya. Atap bangunan utama Masjid Agung Malang dengan puncak tanpa bubungan ini berjenis tajug yang bentuk aslinya masih dipertahankan sejak awal pembangunan.
[7] Bakso Apa. Bakso Kuto merupakan perpaduan cita rasa antara Bakso Solo dan Bakso Malang, sedangkan bakso yang disertai mie kuning dengan nama belakang Kuto ini sama sekali tidak mengandung fenotipe Solo. Belum lagi harganya yang melebihi budget normal bagi pembeli dari luar daerah, 33.000 untuk dua porsi bakso plus satu lontong dan dua es degan. Dua bentuk kecurangan ini dijepret selepas Dhuhur dari kawasan Alun-alun Kota Malang.
[8] Burung Dara. Demi memperoleh kesan berada di Eropa, Nyonya Besar membeli sekantung plastik jagung mentah untuk mengundang puluhan burung dara di pusat Alun-alun Kota agar menyerbu ke arahnya. Nyatanya, burung-burung itu masih terlalu sungkan untuk berbaur dengan para pengunjung, hanya empat ekor yang berani mendekat. Baiklah, ini bukan Eropa!
[9] Bank Indonesia Malang. Tidak seperti di Surabaya maupun Yogyakarta yang telah menjadi cagar budaya, gedung eks De Javasche Bank Malang yang dibangun pada 1915 ini masih berfungsi selayaknya bank pada umumnya. Berlokasi di sebelah utara Alun-alun dengan bangunan menghadap ke arah selatan.

12 Maret 2012

Hidangan Istimewa Kampung


Tiga tahun sejak kopdar Februari 2009 lalu dan baru sempat jalan-jalan lagi ke Sidoarjo kota, aku menyempatkan diri untuk meluncur ke HIK Solo di Raya Gajah Mada bersama istriku, Nyonya Besar. Tidak banyak perubahan, hanya spanduk vinyl cokelat untuk menggantikan spanduk tusir lama dari kain berwarna kuning. Juga pelayan sekaligus pemanggang lauk yang dulunya hanya berjumlah satu, sekarang bertambah menjadi dua orang. Adapun Kang Mangun, pemilik warung, tentu saja menikmati efek penambahan personel itu dengan terlihat jauh lebih santai saat melayani pembeli.
Soal hidangan. Menurutku, rasa teh kampul hangat di sana terkesan aneh, cukup pahit di lidah. Sebaliknya, menurut istriku yang asli Jogja dan penggemar teh, justru rasa pahit dalam teh manis itulah yang membuatnya mantap. Orang Jogja dan kulonan pada umumnya, termasuk Solo, biasa menggunakan teh Cap Tang dengan rasa yang tenar akan tendangannya. Baiklah, kembali soal selera. Oh ya, kali ini sengaja tidak ada pesanan kopi joss, karena sebelum berangkat, kopi hitam rumahan baru saja selesai diracik. Lagi pula, seingatku masih separuh gelas saat kutinggalkan. Lebih detail seputar kopi joss dan nasi kucing, baca lagi ulasan tempo hari di sana.
Soal harga. Untuk 8 bungkus nasi kucing, 10 cakar ayam bacem, 4 tusuk kerang, 4 tusuk kulit dan 2 gelas teh kampul dipatok harga 36.000 perak. Tanpa bertanya harga per item, tentu saja budget sebesar itu masih tergolong murah. Selebihnya, saat kutanya berapa persen kemiripan dengan angkringan asli Jogja ditinjau dari sisi sopan-santun pelayanannya, dialek Jawanya, pedasnya masakan, juga faktor lainnya, istriku memberi nilai 98%.


Update: Baca juga komen dari Kang Sayurs seputar HIK dan Teh Kampul.