17 Agustus 2008

Polo Pendem


Selamat datang para tamu, silahkan duduk merapat. Santai saja...!!!
Jadi begini... mumpung masih dalam suasana tujuhbelasan, saya selaku shohibul hajat sengaja mengundang saudara-saudara sekalian ke tempat ini dalam rangka syukuran memperingati dirgahayu kemerdekaan keenampuluh tiga Republik Indonesia tercinta. Tidak ada uraian panjang lebar seputar hari kemerdekaan seperti yang sudah-sudah, karena saya yakin masih banyak tugas, urusan, acara lain, atau bahkan lomba tujuhbelasan di luar sana yang harus saudara-saudara hadiri. Bukan begitu??? Baiklah, untuk mempersingkat waktu segera saja kita mulai acara ini dengan berdoa bersama ditujukan kepada para pahlawan yang telah rela berkorban jiwa dan raga dalam memperjuangkan kemerdekaan NKRI. Semoga segala amal kebaikan dan perjuangan mereka senantiasa diterima oleh Allah SWT. Amien.
Silahkan menikmati hidangan yang ada. Hanya polo pendem dari kebun belakang rumah sebagai wujud terima kasih atas karunia-Nya berupa tanah yang merdeka dan hasil bumi yang melimpah. Perlu diketahui, bahwasanya hidangan semacam ini pernah menjadi saksi bisu kegigihan para pahlawan dalam mengukir kemerdekaan di medan perang kala itu. Dalam sebuah ceramah, Pak Kyai pernah mengulas sedikit tentang polo pendem atau umbi-umbian ini. Telo (ubi jalar) atau Ipomoea batatas, dalam bahasa Jawa mengandung filosofi "netheli barang sing olo" yang bermakna kurang lebih menanggalkan barang (sesuatu) yang tidak baik. Kiranya kita telah mengetahui dan paham betul sesuatu yang tidak baik pada jaman itu? Lain halnya dengan ketela pohon. Dalam bahasa Jawa, kaspe mengandung filosofi "karepe sepi ing pamrih" yang artinya berniat melakukan sesuatu tanpa pamrih. Inilah ciri khas seorang pahlawan dalam perjuangannya merebut kemerdekaan.
Itulah sedikit cerita seputar polo pendem. Oh ya, terima kasih atas kehadiran saudara-saudara sekalian di tempat ini. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan di hati. Selamat beraktivitas kembali dan... Merdeka...!!!

13 Agustus 2008

Rakitan


Alhamdulillah, telah dirakit dengan komplit satu unit PC rumahan (=kost-kostan) berspek lumayan tinggi pada 080808 minggu lalu. Satu paket pembelian terdiri dari tiga buah kardus berukuran ekstra besar yang dikirim via delivery service dalam kota dalam propinsi. Tak lupa selembar nota pembelian bercap "Cash" di bagian atasnya.
Mengapa PC dan bukan laptop? Untuk begadang semalam suntuk, PC jelas lebih unggul dari laptop merek apapun. Ingat, karakter khas laptop adalah cepat gerah. Alasan lain, meski setengah kali lebih ekonomis dari sebuah 4715z tapi soal kecepatan lari, daya tampung data, kapasitas memori, ukuran, bahkan jumlah kipas sekalipun PC tetap jauh lebih unggul. Kecuali bobot dan konsumsi listrik.
Haruskah rakitan dan bukan yang lain? Jika dibandingkan dengan PC pabrikan (=built up), rakitan menawarkan sejumlah keunggulan seperti spek yang dapat dipilih sesuai selera, harga yang lebih bersahabat, kemudahan reparasi, ketersediaan suku cadang, hingga bobot yang relatif lebih ringan. Soal keawetan, tentu tergantung cara pemakaian.
Lalu, bagaimana dengan subnotebook, PC tablet dan laptop? Lupakan saja dulu jika ingin kantong tetap tebal.


[sumber gambar rakitan: Komputeraktif Digital Edisi 18 tahun 2002]