12 Januari 2012

Emak


Sejak dulu, kami para cucu memanggilnya demikian, meski sebutan itu lebih cocok diucapkan oleh ibu, bapak, paman dan bibi kami. Ya, Emak adalah nenek kami, istri dari almarhum Mbah Kung tercinta. Berumur 72 tahun, atau enam tahun lebih tua dari usia republik ini.
Bagiku, Emak adalah pembuat sekaligus pengaduk kopi yang handal. Jaman dahulu, pertengahan delapan puluhan hingga sembilan puluhan, sering kutemui Emak menghaluskan biji kopi dengan sebuah lumpang, perabot dapur serupa lesung berlubang satu yang hanya cukup dimasuki satu atau paling banyak dua alu saja. Berikutnya, kopi yang masih kasar itu disaring di atas kertas koran dengan pengayak tepung dari logam. Tapi itu dulu, hingga akhirnya semua proses tersebut diambil alih oleh tukang giling tepung di kampung sebelah.
Sejak 2009, setiap aku pulang kampung selalu tersedia kopi hitam di atas meja dapur. Ya, Emak tahu seleraku. Bahkan saat ibu melarangku untuk terlalu banyak mengkonsumsi kopi, Emak tetap saja membelaku dengan menyembunyikan gelas kopi buatannya di sekitar tumpukan karung gabah pojok dapur sebelah belakang. Satu hari satu gelas, aman lah!
Beberapa minggu lalu Emak menelponku dari desa. Lewat ponsel adik pertamaku, Emak menanyakan keadaanku di kota. Katanya, di dalam mimpi aku terlihat kurus sekali dengan sejumlah tulang rusuk yang terlihat jelas. Aku pun tertawa. Tentang kapan terakhir kali Emak melepas rindu via telepon, aku benar-benar lupa. Beberapa minggu kemudian aku memutuskan untuk pulang dan membuktikan bahwa aku baik-baik saja.
Dua Januari lalu, saat aku pulang ke rumah mertua di Jogja, bibi menghubungiku via telepon. Katanya, Emak telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Emak meninggal saat semua cucu dan anaknya kembali ke rumah masing-masing, tepat setelah kesembuhannya dari gangguan asam lambung beberapa hari sebelumnya. Emak telah menemukan cintanya di sana, Mbah Kung tercinta. Doa kami senantiasa menyertaimu.