24 Juni 2008

Perempuan Tua Penjaga Warkop


Dialah yang paham betul pola dietku setiap pagi, seporsi nasi bungkus kertas minyak plus kopi biasa ukuran jumbo. Dia juga tahu kebiasaanku memanfaatkan bagasi jok bebek sebagai pengganti tas plastik untuk mengangkut asupan penuh energi itu. Setidaknya jika hanya sebungkus nasi yang kubeli. Pelayanannya terbilang standar bagi seorang perempuan tua penjaga warkop. Hanya saja, faktor usia membuat setiap gerakannya tampak begitu santai, bahkan saat mengaduk kopi untuk seorang pegawai swasta yang terburu-buru mengejar waktu.
Aset utama ibu tua itu berupa warung kopi di ujung depan jalan masuk kantorku. Sebuah warung kopi yang bukan sekedar tempat ngopi biasa. Faktanya, di tempat itulah sejumlah roda perekonomian masyarakat pinggiran saling mendukung. Lihat saja penjual soto yang bersimbiosis menawarkan variasi menu sarapan pagi ataupun produsen sate usus dan gorengan yang menerapkan metode share profit.
Entah kenapa, dua pagi terakhir warung kopi ibu tua itu selalu tutup. Hanya gerobak soto yang terlihat setia menanti calon konsumennya. Benar-benar sepi yang tidak biasa. Hingga sebuah berita dari penjual nasi bungkus lain di sudut SPBU menjawab semuanya, sang empunya warung telah tiada. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Di antara rasa sedih dan kaget, kuingat waktu terakhir kali bertemu dengannya. Semua tampak baik-baik saja.
"Nasi dua Bu."
"Nambah tas plasik lagi Dik? Tas plastik sekarang tipis-tipis, nanti sobek!"
"Ndak Bu, satu saja!"