12 April 2012

The Spirit of Java


Syukurlah, musim kemarau telah tiba. Saatnya menikmati paket birunya langit yang terkadang berpadu dengan warna kelabu awan Nimbostratus dan putihnya Cumulus. Jika beruntung, merahnya mega dapat dijumpai pada sore hari. April, secara teori merupakan awal kemarau untuk enam bulan ke depan. Cuaca cerah dan langit biru? Saatnya backpacking!
Tujuan jalan-jalan ke luar kota kali ini adalah kota Surakarta atau lebih dikenal sebagai Solo dalam konteks informal. Adapun spot kunjungan terbagi menjadi delapan tempat yaitu Citywalk, Taman Sriwedari, Keraton Surakarta, Masjid Agung Surakarta, Pasar Klewer, Bank Indonesia, Pasar Gede, dan Stasiun Purwosari. Masih bersama istri tercinta dan poket bongsor Panasonic DMC-TZ10 dengan fitur GPS-nya. Gambar-gambar ada di kampung sebelah.
Citywalk merupakan area khusus pejalan kaki dan pengendara sepeda yang terbentang sejauh enam sampai tujuh kilometer di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Karena masih cukup pagi, Nyonya Besar memutuskan untuk membongkar ransum di tepian jalur bebas kendaraan bermotor itu dan melakukan ritual sarapan pagi. Inilah destinasi pertama kami di sebuah pagi yang cerah.
Beranjak dari Citywalk di depan Bank Mandiri Surakarta, kami meluncur ke arah kota melewati Taman Sriwedari, taman hiburan rakyat yang berada di kecamatan Laweyan. Taman yang dibangun pada pemerintahan Paku Buwono X itu merupakan pusat hiburan seni dan budaya masyarakat Solo yang buka pada malam hari. Meski begitu, beberapa stand hiburan seperti bom-bom car dan sejumlah kios telah buka pada siang hari.
Berikutnya, kami menuju Keraton Kasunanan Surakarta yang didirikan pada tahun 1744 oleh Sunan Paku Buwono II. Nyatanya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional terbaik. Untuk memasuki kompleks keraton, setiap pengunjung diharuskan membayar tiket seharga sepuluh ribu rupiah dengan akses menuju museum dan sebagian kompleks keraton. Waktu kunjungan kami satu jam lebih sebelas menit.
Hampir masuk waktu dhuhur, karena itu perjalanan selanjutnya menuju masjid terdekat, dalam hal ini tentu saja Masjid Agung Surakarta. Di bagian depan masjid terdapat sebuah gerbang besar menghadap ke arah timur dengan pintu masuk menuju bangunan utama Masjid Agung Surakarta. Jika termasuk bagian dari pagar keliling masjid, maka gerbang kuno ini bisa dipastikan berdiri pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858. Masjid Agung Surakarta sendiri dibangun pada tahun 1763 hingga 1768 oleh Sunan Paku Buwono III.
Selepas dhuhur di Masjid Agung, saatnya menunaikan ritual makan siang di sekitar Alun-alun Lor dan dilanjut berburu cinderamata ke Pasar Klewer. Selain sebagai pusat perdagangan batik terbesar di Indonesia, pasar tradisional ini juga menawarkan aneka produk konveksi nonbatik dengan corak modern. Membeli keduanya? Tidak! Hanya cinderamata ringan berupa empat bongkah Intip Solo seharga enam ribu per item ditambah empat bungkus kerupuk tahu dengan harga lima ribu tiap plastiknya.
Tujuan berikutnya adalah Pasar Gede. Rupanya, perjalanan dengan bantuan peta dinding tanpa campur tangan kompas sangatlah sukar dilakukan saat matahari berada di atas kepala. Dibutuhkan waktu berkendara 16 menit untuk meluncur dari Pasar Klewer menuju Pasar Gede yang hanya berjarak 1,5 kilometer. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah bangunan tua yang masih difungsikan sebagaimana mestinya, Bank Indonesia. Bangunan dengan gaya neoklasik ini pernah menjadi saksi bisu penculikan Perdana Menteri Syahrir pada 26 Juni 1946 oleh sejumlah pemuda yang tidak puas atas diplomasi antara pemerintahan Kabinet Syahrir II dengan Belanda. Saat tersesat itulah gambar gedung eks De Javasche Bank ketiga berhasil dijepret, setelah dua gambar sebelumnya dari Jogja dan Malang.
Dua puluh enam menit selepas jam dua, sampailah kami di Pasar Gede yang pada mulanya merupakan destinasi perjalanan di malam hari. Kombinasi antara langit gelap dengan objek gedung maupun jam antik menjanjikan suasana eksotis untuk dijepret bersama pendaran cahaya lampu. Sayang sekali, kami sudah terlalu capek untuk menunggu hingga malam.
Sebelum pulang, ada baiknya istirahat sejenak di warung lesehan sebelah barat Stasiun Purwosari. Tepat sekali puluhan PKL di sana memilih spot untuk berjualan, karena di tempat itu banyak berkumpul keluarga beserta anak-anak yang menghabiskan waktu sore dengan mengamati lalu-lalang kereta api. Sejumlah fotografer dan pecinta kereta api juga tampak berburu lokomotif dengan berbagai jenis kamera.


17 komentar:

  1. Fotonya bagus-bagus deh ...
    Pakai editor apa ya.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tengkyu Bunda Vay. Ah, cuma pakai Photoshop biasa sama PS Lightroom untuk ngatur cahaya dan kecerahan warna. Sisanya mengandalkan cuaca cerah sama mood bagus :)

      Hapus
  2. Foto paling bawah itu wuiiii... apik tenan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Paman. Karena editor gambarnya juga kali yak :)

      Hapus
  3. cak ! awas mbah pur lewat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biarlah kereta menderu, kafilah tetap berlalu (dan ngopi di sisi rel) *hayah

      Hapus
  4. Meski asli Klaten dan sangat dekat dengan Solo, saya malah belum secara menyeluruh mengeksplor kota itu.

    Fotonya keren2.. Saya yang jepret pake SLR jadi malu, hiks. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soal eksplorasi, saya sendiri pernah mengalami hal serupa, 10 tahun tinggal di Surabaya baru tahu sisi eksotisnya setelah meluangkan waktu sehari keliling kota.

      Terima kasih Mbak Nunik, saya kira berkat cuaca cerah, mood bagus dan sudut pengambilan saja kok. Selain karena menggunakan DSLR bagi saya itu masih terlalu sukar, dan beban moralnya untuk buat gambar bagus juga terlalu berat... :D (nyontek, Mas Dony).

      Hapus
  5. Ajib fotone Om, saiki wis KTP NewYorkartohadiningrat ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Suwun Cak. Belum, lha wong kemarin masih ngurus e-KTP di nJombang kok, Cak. Rencana dalam waktu dekat buat KK di Surabaya dulu, coz gawe masih tetap di sana.

      Hapus
  6. wow...., perjalanan yang seru neh....
    hasil foto-fotonya juga bagus banget, Cak....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Pak. Cuaca cerah, jadi sangat mendukung hobi snapshot di luar ruangan, beda cerita kalau hari itu mendung :)

      Hapus
  7. duh seneng ya bisa puter2 kota (enaknya ya jalan ya kalo mo disambi motret, hehe) dan foto-foto bangunan tua dan objek menarik lainnya. sempet kelakon sih pas aku di bandung kemaren :) jalan pagi dari hotel, sepanjang hampir 2 kilometer ke area driving range. puas deh moto2nya meski cm pake kamera HP :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, hobi setengah baru itu dinamakan backpacking, Madam. Masih lokal saja lah, dengan rute kota-kota. Soal foto, ada yang bilang hasil jepretan itu adalah oleh-oleh yang selalu bikin 'envy' banyak orang. Maka dari itu ayo jepret apa saja, pakai apa saja, di mana saja... :)

      Hapus
  8. Terntara untuk melihat suatu hal yang menakjubkan itu tidak harus jauh di indonesia juga teryata banyak kota kota yang indah .

    BalasHapus

Terima kasih atas komentarnya.